Pengertian Fotogrameri Untuk Bidang Geologi
Fotogrametri
merupakan suatu pengambilan atau pengukuran data/informasi mengenai sifat dari
sebuah fenomena, objek,atau benda dengan menggunakan sebuah perekam tanpa
berhubungan langsung dengan objek yang akan dikaji.
Salah satu karateristik
fotogrametri adalah pengukuran terhadap objek yang dilakukan tanpa berhubungan
perlu berhubungan ataupun bersentuhan secara langsung dengannya. Pengukuran
terhadap objek tersebut dilakukan melalui data yang diperoleh pada sistem
sensor yang digunakan.Terminologi
Close Range atau Rentang Dekat muncul pada saat teknik ini digunakan untuk
objek dengan jarak kurang dari 100 meter dari posisi kamera berada dekat dengan
objek. Fotogrametri rentang dekat adalah teknik pengukuran 3D tanpa kontak
langsung dengan objek, menggunakan kamera untuk mendapatkan geometri
sebuah ojek.
Dalam
fotogrametri syarat fundamental yang banyak digunakan adalah syarat kesegarisan
berkas sinar (collinearity condition) yaitu suatu kondisi dimana titik
pusat proyeksi, titik foto dan titik obyek di tanah terletak pada satu garis
dalam ruang. Kondisi ini dinamakan kondisi kolinearitas. Kamera
fotogrametri tidak mempunyai lensa yang sempurna, sehingga proses perekaman
yang dilakukan akan memiliki kesalahan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengkalibrasian kamera utnuk dapat menentukan besarnya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Kalibrasi kamera dilakukan untuk
menentukan parameter distorsi, meliputi distorsi radial dan distorsi
tangensial, serta parameter-parameter lensa lainnya, termasuk juga principal
distance (c), serta titik pusat fidusial foto. Pada Software Austalis,
model kalibrasi terdiri dari element interior orientasi (xo, yo, c), koefisien
distorsi lensa (K1, K2, K3, P1 and
P2) serta koefisen untuk perbedaan penyekalaan dan ketidak ortogonal
antara sumbu X dan Y (b1, b2) Distorsi lensa dapat
menyebabkan bergesernya titik pada foto dari posisi yang sebenarnya, sehingga
memberikan ketelitian pengukuran yang tidak baik, namun tidak mempengaruhi
kualitas ketajaman citra yang dihasilkan. Distorsi lensa dapat dibagi menjadi distorsi radial dan
distorsi tangensial.
Distorsi
radial adalah pergeseran linier titik foto dalam arah radial terhadap titik
utama dari posisi idealnya. Distorsi lensia biasa diekspresikan sebagai fungsi
polonomial dari jarak radial (dr) terhadap titik utama foto Distorsi
tangensial adalah pergeseran linier titik di foto pada arah normal (tegak
lurus) garis radial memalui titik foto tersebut. Distorsi tangesial disebabkan
kesalahan sentering elemen-elemen lensa dalam satu gabungan lensa dimana titik
ousat elemen-elemen lensa dalam gabuang lensa tersebut tidak terletak pada satu
garis lurus. Pergeseran ini
biasa dideskripsikan dengan 2 persamaan polonomial untuk pergeseran pada arah x
(dx) dan y (dy). Kalibrasi kamera dapat dilakukan dengan berbagai metode.
Secara umum kalibrasi kamera biasa dilakukan dengan tiga metode, yaitu laboratory
calibration, on-the-job calibration dan self-calibration (Atkinson,
1987). Metode lain yang dapat digunakan antara lain analytical plumb-line
calibration dan stellar calibration (Fryer, 1989). Laboratory
calibration dilakukan di laboratorium, terpisah dengan proses pemotretan
objek.
Metode yang termasuk di dalamnya
antara lain optical laboratory dan test range calibration. Secara
umum metode ini sesuai untuk kamera jenis metrik.On-the-job calibration merupakan
teknik penentuan parameter kalibrasi lensa dan kamera dilakukan bersamaan
dengan pelaksanaan pemotretan objek. Pada self-calibration pengukuran
titik-titik target pada objek pengamatan digunakan sebagai data untuk penentuan
titik objek sekaligus untuk menentukan parameter kalibrasi kamera. Hingga
saat ini, tekni Close Range Photogrammetry banyak digunakan untuk:
- Rekomstruksi
bangunan sejarah - rekonstruksi kecelakaan mobil
- Keperluan
medical - Pemantauan
small scale deformation di industry pesawat dan kapal
- Pemantauan
deformasi jembatan - dll
1.
Alat Pengukur Luas
Dapat
dibedakan menjadi tiga kategori yaitu alat sederhana, alat mekanik dan alat
elektronik. Dalam hal ini yang digunakan adalah alat sederhana karena
penggunaannya paling cepat. Berdasarkan metode yang digunakan alat sederhana
dibedakan atas :
- Metode
strip; yang digunakan berupa lembaran tembus cahaya yang padanya ditarik
garis-garis sejajar dan berinterval sama besar. Lembaran tembus cahaya ini
ditumpangkan pada objek yang diukur luasnya. Kemudian ditarik garis-garis
tegak lurus pada batas objek sedemikian hingga bagian yang dihilangkan
sama dengan bagian yang yang ditambahkan. Sisi atas segi empat panjang
atau sisi atas strip itu dijumlahkan dan dikalikan dengan intervalnya
sehingga diperoleh luas objek pada foto.
Gambar 1. Pengukuran
Luas dengan Metode Strip
Dari
gambar di atas, luas objek diukur dengan menjumlahkan luas masing-masing segi
empat panjang (Luas ABB’A’ + CDD’C’ + EFF’E’), dimana AA’, BB’, CC’, DD’, EE’
dan FF’ merupakan interval strip.
- Metode
bujursangkar; dilakukan dengan kertas milimeter. Kertas milimeter ini ditumpangkan
di atas objek yang diukur luasnya. Dalam mengukur luas pada objek pada
citra dihitung berapa bujur sangkar 1cm x 1cm yang jatuh dalam batas objek
yang diukur luasnya. Dari gambar 2.2, luas objek dapat diukur dengan
menjumlahkan bujursangkar yang memuat luas lebih dari setengah
bujursangkar. Jika bujursangkar berjumlah 12 buah dengan skala pada foto
adalah 1 : 50.000 (maka 1 cm = 500 m), maka 1 bujursangkar sama dengan
250.000 m2. dengan demikian luas objek tersebut adalah 12 x
250.000 m2 sama dengan 3.000.000 m2.
Gambar 2. Pengukuran
Luas Metode Bujursangkar
- Metode
jaringan titik; alat ukurnya berupa lembaran tembus cahaya yang diberi
jaringan titik yang masing-masing berjarak sama. Titik itu serupa dengan
titik yang dibuat pada tengah-tengah bujursangkar yang kemudian
bujursangkarnya dihapus. Dalam metode ini kita tinggal menghitung berapa
titik yang masuk dalam batas objek yang diukur luasnya. Tiap titik
dianggap mewakili satu bujursangkar, sehingga tiap titik dikalikan dengan
luas bujursangkar untuk mendapatkan luas objeknya.
Gambar 3. Pengukuran
Luas Metode Jaringan Titik
2.
Skala Foto Udara Vertikal
Skala
foto udara merupakan perbandingan antara jarak pada foto udara dengan jarak
sebenarnya di lapanagan. Skala foto diperlukan untuk menentukan ukuran objek
maupun untuk mengenalinya. Ada beberapa cara untuk menentukan skala foto udara
vertikal, yaitu :
Perbandingan
antara panjang fokus dan tinggi terbang. Persamaannya yaitu :
S = f/H
dengan
S = skala, f = fokus dan H = tinggi terbang.
Membandingkan
jarak foto terhadap jarak lapangan, dilakukan bila membawa foto udara ke
lapangan atau kalau tahu jarak sesungguhnya objek di lapangan dari objek yang
tergambar pada foto. Persamaan yang digunakan yaitu :
S = df/Dl
dengan
S = skala, df = jarak pada foto, dan dl = jarak di lapangan.
Membandingkan
jarak pada foto terhadap jarak pada peta yang telah diketahui jaraknya.
Persamaan yang digunakan yaitu :
Dp/pf = df/pp
dengan
dp = jarak di peta, df = jarak pada foto, pf = skala foto dan pp = skala pada
peta.
3.
Basis Foto (Photo Base)
Merupakan
jarak antara dua pemotretan berurutan. Hal ini menyebabkan kenampakan adanya
pergeseran titik pusat foto satu dengan foto berikutnya. Jarak pergeseran pada
lembar foto ini disebut photo base
atau basis foto. Besarnya basis foto pada sepasang foto udara adalah rata-rata
dari hasil pengukuran dua basis foto tersebut, persamaannya yaitu :
B = (b1 + b2)/2
dengan
B = basis foto, b1 = basis foto 1 dan b2 = basis foto 2.
4.
Paralaks
Merupakan
perubahan kedudukan gambaran titik pada foto udara yang bertampalan yang
disebabkan oleh perubahan kedudukan kamera. Paralaks ini disebut juga dengan
paralaks absolut atau paralaks total. Lebih jauh dikemukakan bahwa paralaks
absolut suatu titik adalah perbedaan aljabar yang diukur sepanjang sumbu x,
berpangkal dari sumbu y ke arah titik bersangkutan yang tergambar pada tampalan
foto udara. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa masing-masing foto udara itu benar-benar
vertikal dan dengan tinggi terbang yang sama. Pada gambar 2.4, titik A dan B
terletak di atas bidang rujukan dan titik P terletak pada titik utama. Nilai
paralaks absolutnya merupakan jumlah nilai sumbu X masing-masing titik, yaitu
jumlah absolutnya (tanpa tanda negatifnya).
Gambar 4. Paralaks
Titik A, B, dan U
Pengukuran paralaks dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu :
a. Pengukuran paralaks secara
stereoskopik; dilakukan dengan menggunkan batang paralaks atau meter paralaks (parallax bar) terdiri dari dua keping
kaca yang diberi tanda padanya. Tanda ini disebut tanda apung (floating mark). Masing-masing keping
kaca dipasang pada batang yang dapat diatur panjangnya yang diatur dengan
memutar sekrup mikrometer. Pengukuran dilakukan setelah foto disetel di bawah
pengamatan stereoskopik. Tanda apung kiri diletakkan pada titik yang akan
diukur paralaksnya di foto kiri, dan tanda apung kanan diletakkan pada titik
yang akan diukur paralaksnya pada foto kanan, dimana peletakan dilakukan dengan
melihat dari stereoskop. Kemudian dilakukan pembacaan pada sekrup mikrometer
yang dibaca dalam milimeter (mm).
b. Pengukuran paralaks secara
monoskopik; atau disebut juga cara manual, dilakukan tanpa menggunakan batang
paralaks, melainkan hanya dengan menggunakan penggaris biasa. Dari gambar 2.5,
maka paralaks titik A dan titik B dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut :
PA = XA1 – (-XA2) = XA1
+ XA2
PB = XB1 – XB2
Gambar 5. Pengukuran
Paralaks dengan Cara Monoskopik
5.
Beda Tinggi
Beda
tinggi antara dua titik yang tergambar pada tampalan foto dapat diukur
berdasarkan beda paralaksnya.paralaks suatu titik dapat diukur dan dinyatakan
dengan persamaan :
h = Hp/b
dengan
h = beda tinggi, H = tinggi terbang, p = beda paralaks dan b = base foto. Jika
beda tinggi, beda paralaks dan base foto diketahui maka tinggi terbang dapat
ditentukan dengan persamaan di atas.
Dari
persamaan di atas dapat divariasikan dan menghasilkan beberapa persamaan, yaitu
:
∆h
= (H. ∆P)/(PB + ∆P)
dengan
∆h = beda tinggi, HB = tinggi terbang pesawat dari titik B, PB
= paralaks titik B, PA = paralaks titik A, ∆P = selisih paralaks A
dan B, H = tinggi terbang pesawat dari bidang dasar, b = jarak dasar foto (photo base), B = jarak dasar udara (air base) dan f = jarak fokus lensa
kamera. Hasil pengukuran beda tinggi akan teliti apabila foto udara yang
digunakan berskala 1 : 10.000 atau lebih besar.
6.
Pengukuran Jarak Horizontal
Jarak
pada foto udara tidak mencerminkan jarak sesungguhnya di lapangan, karena ada
pergeseran. Untuk menentukan jarak horizontal yang sesungguhnya digunakan cara
grafis, karena kalau dengan mengukur relief-displacement
satu per satu akan membutuhkan waktu lama. Prosedur pengukurannya yaitu :
a.
Tentukan pusat masing-masing foto yang berpasangan.
b.
Letakkan miuka pada masing-masing foto udara.
c.
Titik pusat foto (n1 dan n2) dan titik pusat foto
konjugasi (n1’ dan n2’) diplot pada mika.
d.
Tarik garis dari n1 ke A1 dan ke B1, juga
garis n2A2 dan n2B2 pada mika.
e.
Masing-masing mika diambil dan dipasang berimpitan hingga n1
berimpit denagn n1’ dan n2 berimpit dengan n2’.
f.
Titik potong antara n1A1 dan n2A2
serta n1B1 dan n2B2 dihubungkan.
Garis penghubung itu adalah jarak AB yang sudah terkoreksi. Sehingga jarak di
lapangan dihitung dengan persamaan = dAB x H/f, dengan dAB = jarak AB pada foto
yang sudah terkoreksi, H = tinggi terbang pesawat dari bidang dasar dan f =
jarak fokus lensa kamera.
Gambar 6. Pengukuran
Jarak Horizontal Secara Grafis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar