Minggu, 01 Juni 2014

PETROLOGI BATUAN KARBONAT

Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang mengandung mineral karbonat lebih dari 50%. Sedangkan mineral karbonat adalah mineral mengandung CO3 dan satu atau lebih kation Ca, Mg, Fe, dan Mn. Pada umumnya, mineral karbonat adalah kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg (Co3)2). Batuan karbonat umumnya terdiri atas batugamping (kalsit sebagai mineral utama) dan batudolomit (dolostone). Umur batuan ini sangat bervareasi mulai dari pra-Kambrium sampai Kuarter. Batuan karbonat pra-Kambrium dan Paleosen umumnya dikuasai oleh batudolomit. Di alam batuan karbonat menempati 1/5 – 1/4 dari seluruh catatan stratigrafi dunia. Sekitar 40 % dari minyak bumi dan gas dunia diambil dari batuan karbonat. Reservoar karbonat di Timur Tengah merupakan salah satu contoh reservoar karbonat dengan produksi migas yang besar.

Sedimen karbonat, yang dijumpai di dunia, kebanyakan terbentuk pada lingkungan laut dangkal dan beberapa di antaranya terbentuk di daerah teresterestrial, tetapi laut dangkal tropis. Indonesia merupakan daerah yang mempunyai sedimen karbonat melimpah.

1. Pembentukan Sedimen Karbonat
Meskipun tidak semua, kebanyakan sedimen karbonat adalah hasil dari proses kimia atau biologi yang hidup pada lingkungan laut bersih, hangat dan dangkal. Secara umum, beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan akumulasi maksimum sedimen karbonat adalah lingkungan yang mempunyai: 

- kedalaman cukup, tidak terlalu dalam atau terlalu dangkal, 
- hangat, tidak terlalu panas atau terlalu dingin 
- kadar garam yang cukup, tidak terlalu tawar dan terlalu asin, 
- jernih, tidak terlalu banyak sedimen klastik darat, dan
- makanan cukup, tetapi tidak terlalu banyak. 

Berikut ini akan dibicarakan tiga faktor utama yang mengontrol produktivitas sedimen karbonat: letak geografis dan iklim, cahaya dan salinitas.

a.  Letak Geografis dan Iklim
Secara umum tata letak geografis dan iklim dapat mengontrol laju pertumbuhan kehidupan penghasil sedimen karbonat. Daerah yang mempunyai latitud tinggi mempunyai suhu dingin yang tentu saja menghambat pertumbuhan kehidupan yang memerlukan kehangatan untuk hidup. Sedangkan  daerah yang mempunyai latitud rendah (tropis dan subtropis) mempunyai suhu keseharian hangat. Di daerah ini berbagai kehidupan yang memproduksi sedimen karbonat akan tumbuh lebih baik.

b.  Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya mengontrol distribusi organisme penghasil karbonat yang membutuhkan cahaya untuk fotosintesis. Penetrasi cahaya dipengaruhi oleh kedalaman air, latitud, dan kejernihan air. Radiasi cahaya menembus air, ini diserap dengan cepat pada bagian atas laut. Setiap perubahan kedalaman 30-50 m, intessitas cahaya berkurang 1% dari level cahaya permukaan. Batas kedalaman pertumbuhan koral secara geografis bervariasi, pertumbuhan koral aktif di Carribbean berkisar dari 40 sampai 60 m, sedangkan didaerah Indo-Pasifik hanya 15 sampai 90 m.

Material klastik yang diangkut dari darat dan dikirim ke paparan atau cekungan melalui transportasi sungai dan/atau angin juga akan mempengaruhi penetrasi cahaya. Masuknya sedimen silisiklastik menghasilkan partikel halus, lempung dan lanau tersuspensi, yang dapat menurunkan kejernihan (transparansi) air dan fotosintesa. Hal ini tentu akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan ganggang karbonat, yang merupakan penghasil utama sedimen karbonat. 

c.   Salinitas (kadar garam)
Perbedaan dan kelimpahan biota menunjukkan semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kalkareus. Pada kondisi laut terbuka yang normal, perubahan salinitas dapat mengakibatkan hilangnya  sejumlah jenis fauna yang tidak tahan terhadap perubahan salinitas ini. Peningkatan salinitas menurunkan keanekaragaman biota dan salinitas di atas 40% kebanyakan invertebrata menghilang, meskipun ganggang kalkareous  tetap akan memproduksi sedimen terhadap waktu. 

2. Komposisi
a. Komposisi Kimia
Unsur kimia utama batugamping dikuasai oleh kalsium, magnesium, karbon dan oksigen. Kalium sebagai kation utama (Ca+2) dan magnesium (Mg+2); Fe, Mn dan Zn umumnya sebagai kation yang berjumlah sedikit. Anion yang utama adalah CO32-, namun anion seperti SO42- , OH-, F- dan Cl- dapat juga hadir dalam jumlah yang terbatas. Unsur/elemen jejak (trace elemen) yang biasa dijumpai pada batuan karbonat meliputi B, Ba, P, Mg, Ni, Cu, Fe, Zn, Mn, V, Na, U, Sr, Pb, K. Konsentrasi elemen jejak tersebut tidak hanya dikontrol oleh minerologi batuan, tetapi juga dikontrol oleh jenis dan kelimpahan relatif butiran cangkang fosil dalam batuan. Banyak organisme menghimpun dan menggabungkan elemen jejak tersebut ke dalam struktur cangkangnya.

b. Komposisi Mineral
Mineral penyusun batuan karbonat terbagi dalam tiga kelompok utama: kelompok kalsit, kelompok dolomit dan kelompok aragonit (Tabel 1).  Di antara mineral karbonat dalam Tabel 1, hanya kalsit, dolomit dan aragonit yang merupakan mineral utama dalam batugamping dan dolomit (batudolomit). Aragonit bahkan merupakan penyusun utama batuan karbonat yang berumur Kenozoikum dan karbonat moderen. Siderit dan ankerit sering sebagai semen dan konkresi dalam beberapa batuan sedimen, tetapi jarang sebagai penyusun utama dalam batuan karbonat. Mineral karbonat lain dalam Tabel 1 jarang dijumpai dalam batuan karbonat.

Tabel 1. Mineral yang umum dijumpai pada batuan karbonat
(disederhanakan dari Boggs, 1992)

MINERAL SISTEM KRISTAL KOMPOSISI KIMIA KETERANGAN
KELOMPOK KALSIT
Kalsit Rombohedral CaCo3 Menguasai batugamping pada batugamping,khususnya yang lebih tua dari Tersier
Magnesit -“- MgCo3 Tidak umum pada batuan sedimen, tetapi terbentuk pada endapan evaporasi
Rodosit -“- MnCo3 Tidak umum di batuan sedimen, dapat terjadi di sedimen yang kaya akan Mn berasosiasi dengan Fe-silikat
Siderit -“- FeCo3 Terbentuk sebagai semen dan konkresi pada serpih dan batupasir, umum pada endapan batubesi (ironstone) juga pada batuan karbonat teralterasi oleh larutan kaya Fe
Smitsonit -“- ZnCo3 Tidak umum pada batuan sedimen, hadir berasosiasi dengan bijih Zn dalam batugamping
KELOMPOK DOLOMIT
Dolomit -“- CaMg(Co3)2 Menguasai batudolomit, umumnya juga berasosiasi dengan kalsit dan mineral evavorasi
Ankerit -“- Ca(Mg,Fe,Mn) (Co3)2 Jauh lebih jarang dari pada dolomit, terbentuk di sedimen kaya Fe, sebagai sedimen butiran atau konkresi
KELOMPOK ARAGONIT
Aragonit Ortorombik CaCo3 Umum dijumpai pada sedimen karbonat Resen, cepat peralterasi menjadi kalsit
Kerusit -“- PbCo3 Terbentuk pada supergene lead ores
Strontianit -“- SrCo3 Terbentuk pada urat-urat pada batugamping
Witerit -“- BaCo3 Terbentuk dalam urat-urat yang berasosiasi dengan galena

Pengenalan tiga mineral utama batuan karbonat (kalsit, aragonit dan dolomit) menjadi hal yang sangat penting dalam mempelajari komposisi batuan karbonat. Akan tetapi, pengenalan itu sering mengalami kesulitan, baik secara kasatmata (mata telanjang) maupun dengan bantuan mikroskop. Pengenalan mineral karbonat akan jauh lebih mudah dilakukan dengan bantuan teknik staining dan etching. Sebagai contoh, dengan teknik staining aragonit akan tampak hitam dengan larutan Fiegl (Ag2SO4+MnSO4), kalsit menunjukkan warna merah bila bereaksi dengan larutan alizarin merah. Untuk lebih rinci tentang teknik staining dan etching ini dapat baca pada Tucker (1988).

c.  Butiran 
Komponen penyusun batuan karbonat moderen umumnya dibagi ke dalam dua bagian dasar (lihat Gambar 1): butiran (grain) dan lumpur (mud). Butiran adalah kerangka pada kebanyakan batuan karbonat yang terdiri dari endapan cangkang organisme (skeletal) dan endapan partikel dan agregat anorganik. Sehingga, butiran biasanya dibagi menjadi dua kelompok butiran, yaitu cangkang dan noncangkang. Boggs (1992) menyebut butiran noncangkang ini dengan sebutan litoklas atau klastika batuan. Butiran batuan karbonat dapat berukuran dari ukuran pasir sampai dengan brangkal. Bentuk butiran karbonat juga sangat bervareasi, mulai menyudut sampai membulat. 

Lumpur gamping (lime mud) adalah batuan karbonat dengan butiran sangat halus, termasuk butiran dan endapan kristalin yang ke duanya berukuran sangat halus. Karbonat ini setara dengan serpih dan/atau batulempung pada endapan klastika. Lumpur gamping  (lime mud) laut terbentuk dari kehidupan bentonik yang mati dan meluruh, detritusnya berasal dari partiel karbonat yang lebih besar, akumulasi  biota plantonik, dan pengendapan langsung dari air laut. Beberapa proses yang dipercaya dapat menghasilkan lumpur gamping, di antaranya adalah aktivitas angin, ombak dan pasang-surut dapat memecahan cangkang kehidupan menjadi serpihan renik. Aktivitas binatang laut pemakan biota laut penghasil karbonat, dapat merusak cangkang koral menjadi bagian yang sangat halus.

Sedimen karbonat ini kemudian mengalami proses pembatuan sehingga menjadi batuan karbonat. Saat ini di lingkungan laut, beberapa sedimen karbonat membatu menjadi batugamping pada atau hanya sedikit di bawah dasar laut. Sebagai contoh dari proses ini adalah “beachrocks (pembatuan sedimen pantai) yang biasanya tersemen oleh aragonit dan Mg-kalsit berupa serabut atau seperti jarum. Dalam karbonat purba, semen aragonit dan Mg-kalsit jarang dapat terekam dengan baik. Hal ini disebabkan oleh ketidaksatabilan aragonit dan Mg-kalsit, yang dengan mudah berubah menjadi kalsit.

1. Butiran cangkang (skeletal grain)
Butiran cangkang pada batuan karbonat berasal dari sisa-sisa organisme penghasil material karbonat. Organisme membentuk cangkang untuk menopang dan melindungi jaringan (tissue) lunak dan dalam aktivitas hidupnya. Secara organik mereka membentuk mineral karbonat yang mana mineraloginya bervariasi. 



















Gambar 1: Foto mikroskupis dari batugamping, Formasi Tampakura, Sulawesi Tenggara; Bo (butir organik atau cangkang berasal dari cangkang foram dan moluska) dan Bi (butir inorganik berupa lumpur karbonat, sering disebut peloid).

Butiran cangkang merupakan butiran yang sangat dominan pada batuan karbonat Panerozoikum. Butiran ini dapat berupa cangkang utuh dan/atau pecahan bagian dari suatu organisme dengan bentuk menyudut sampai membulat.  Sebagian besar cangkang itu dibentuk oleh aragonit, kalsit atau Magnesian-kalsit. Komposisi ini dapat berubah karena proses diagenesa yang dialami, sehingga sebagian mineral berubah menjadi mineral lain. Contohnya, aragonit akan berubah menjadi kalsit pada proses diagenesa.

2.  Butiran karbonat Non-Cangkang
Butiran non-cangkang adalah partikel-partikel yang berasal dari proses fisika, kimia ataupun secara biologi dan butiran ini bukan bagian struktur organik. Berdasarkan ciri-cirinya ada beberapa tipe butiran non-cangkang, sebagai berikut:

- Litoklas
Litoklas (lithoclast), adalah fragmen sedimen pada batuan karbonat yang merupakan hasil erosi, kemudian tertransportasi dan diendapkan dalam cekungan karbonat. Disini ada dua jenis lithocklast, yaitu intraklas dan ekstraklas. Ekstraklas, sering juga disebut limeclast , berasal dari luar cekungan karbonat, sedangkan intraklas berasal dari dalam cekungan itu sendiri.

(1) Intraklast adalah kepingan batugamping atau pengerasan sedimen yang berasal dari dalam cekungan pengendapan itu sendiri. Kepingan ini dapat berupa beachrock, hardgrounds, atau stromatolite yang semi-terkonsolidasi. Intraklasts mengandung partikel-partikel yang seumur dengan batuan induknya (host rock) dan beberapa fabrik diagenetik dijumpai dalam interklast yang berkaitan dengan lingkungan pengendapan sedimen induknya. Interklast sangat sering dijumpai dalam karbonat. Mereka dapat terbentuk akibat erosi dalam laut yang terletak pada alur pasang-surut, pantai, muka terumbu dan dataran pasang-surut (tidal flat). Menurut Boggs (1992), ada dua proses utama penyebab terbentuknya intraklas adalah: 
- Erosi terhadap endapan pantai baru saja membatu (lithified beach-rock) di dalam zona intertidal dan supratidal;
- Penghancuran dari telo (desication) pada supratidal, khususnya lumpur gamping yang menghasilkan klastika lumpur gamping.   

(2) Ekstraklast adalah kepingan batugamping yang berasal dari batugamping yang telah membatu dan terletak diluar cekungan, kemudian tererosi dan diangkut masuk ke dalam cekungan pengendapan. Kalau intraklas dapat memberikan informasi tentang kondisi cekungan dimana batugamping itu diendapkan, ekstraklas tidak dapat. Yang diberikan oleh ekstraklas adalah informasi tentang batuan asalnya, yang mungkin jauh lebih tua.

Coated grain (ooid, oncoid and cortoid)
Butiran terbungkus (coated grain) adalah butiran karbonat terdiri atas inti (nuleus) yang dikelilingi oleh lapisan pembungkus yang disebut korteks (cortex). Butiran terbungkus ini dibagi dalam ooid, onkolit dan kortoid.

Ooids 
Ooids adalah butiran terbungkus berukuran pasir, berbentuk bundar sampai oval dan pembungkusnya konsentris disekitar nukleus butiran (Gambar 2). Pembungkus (coating) terdiri atas lapisan yang bervareasi ketebalannya (3-15 mikron). Intinya (nucleus). Nukleus mungkin berupa kepingan cangkang, peloid, ooid yang lebih kecil, atau butiran lain seperti kuarsa dan feldspar. Pada umumnya ooid berukuran lanau-pasir atau 0,1-2 mm, yang paling umum adalah 0,5-1 mm (Boggs, 1992). Ooid yang berukuran >2 mm disebut pisoid. Batuan yang dibentuk oleh ooid berukuran <2 mm disebut oolit, sedangkan batuan yang terbentuk oleh pisoid (>2 mm) disebut pisolit.




Gambar 2. Komponen bukan cangkang pada sedimen karbonat.

Dari data yang terbatas, pertumbuhan individu ooids menunjukan mungkin sangat perlahan, data yang diperoleh di Bahama menunjukan laju akumulasi hampir 1 m/1000 tahun (Boggs, 1992). Akumulasi ooids berkembang baik pada platform dangkal di tropis-subtropis, dalam air bergerak, biasanya kedalaman berkisar 0 dan 4 meter dan butiran digerakkan oleh arus tidal, arus angin, dan gelombang. Pergerakan air mengeluarkan CO2 dari larutan dalam air laut dan meningkatkan pengendapan CaCO3. Disini  kebanyakan  ooids yang terbentuk adalah aragonit ooids, dan sedikit terjadi Mg-kalsit ooids. Aragonit ooids cenderung membentuk orentasi kristal tangensial, sedangkan Mg-kalsit ooids membentuk struktur radial. Aragonit ooids menempati daerah energi tinggi, sedangkan Mg-kalsit ooids cenderung lebih terkonsentrasi dalam lingkungan energi rendah. Boleh jadi, energi hidroulik mengontrol mineralogi.


Gambar 3. Oolit dari Formasi Tampakura berumur Paleogen, di Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan lapisan pembungkus (cortex), ooid primer dapat dibagi menjadi:
1. Ooid dengan struktur tangensial ,
2. Ooid dengan struktur radial dan 
3. Ooid mikritik atau mikrosparit.

Onkoid (Oncoid)
Onkoid adalah butiran terbungkus oleh lapisan yang lebih tidak beraturan dari pada ooid. Pada umumnya onkoid berukuran <2 mm->10 mm. Onkoid dapat terbentuk baik di lingkungan pengendapan laut maupun di darat. 

Peloid dan pelet
Istilah peloid digunakan untuk menggambarkan semua butiran yang dibentuk pada aggregat karbonat kriptokristalin berukuran 20-60 m, dengan mengabaikan asal pembentukannya (Gambar 2). Hal ini diperlukan karena sering asal aggregat ini tidak jelas, tetapi untuk butiran dengan asalnya dari faecal origin, digunakan istilah pelet. Peloid adalah ciri khusus pada lingkungan lagun, dan beberapa lingkungan inner-shelf dangkal.

c. Lumpur Karbonat 
Lumpur karbonat (carbonate mud) adalah batuan karbonat yang berbutir sangat halus (<63 mikron), yang biasanya diidentifikasi mengunakan mikroskop. Di bawah pengamatan mikroskop elektron, lumpur karbonat laut moderen dapat dilihat kandungan kristal aragonit berbentuk jarum, butiran cangkang yang kelihatannya sangat halus atau kepingan cangkang yang sangat kecil, seperti coccoliths. Kebanyakan lumpur aragonit yang berbentuk jarum berasal dari serpihan ganggang kalkareous yang mati, seperti Penicillus. Lumpur lainnya, yang mana berbentuk butiran-nano berbentuk membundar tanggung, adalah tidak jelas dari tanda-tanda organik. Ini mungkin diendapkan dari air laut.


3. Clasifikasi Batuan Karbonat
Klasifikasi batuan karbonat mempunyai banyak ragamnya. Sampai saat ini belum ada satu klasifikasi yang dapat memuaskan semua fihak, seperti halnya pada batuan klastika (seperti batupasir misalnya). Beberapa klasifikasi yang akan disajikan di bawah ini merupakan klasifikasi yang lebih umum dipakai oleh para ahli geologi.

Secara konvensional batuan karbonat juga diklasifikasikan menurut ukuran butiranya, seperti klasifikasi sedimen klastik berdasarkan skala ukuran butir Wentworth. Batuan karbonat dengan ukuran butir >2 mm dinamakan kalsirudit (disebut konglomerat pada sedimen non-karbonat), 63 mikron - 2 mm disebut kalkarenit (disebut batupasir pada sedimen non-karbonat), dan yang ukuran butirnya <63 mikron dinamakan kalsilutit (setara dengan batulempung). Namun klasifikasi yang berdasarkan pemerian (discription) ini sudah lama ditinggalkan. Para ahli geologi lebih senang dengan klasifikasi yang berdasarkan asal (genetic) batuan atau paling tidak mengarahkan ke sana. Hal ini disebabkan, dengan klasifikasi asal itu dapat diinterpretasikan proses pengendapan, termasuk bagaimana dan dimana proses sedimentasi batuan berlangsung. 

Pada 1962 ada dua klasifikasi yang terkenal yang diusulkan oleh R.L.Folk (Tabel 6.2) dan R.J.Dunham (Tabel 6.3). Klasifikasi Dunham (1962) belakangan dimodifikasi oleh Embry dan Klovan (1972) seperti Gambar 4.

4. Diagenesa

Setelah proses pengendapan berakhir, sedimen karbonat mengalami proses diagenesa yang dapat menyebabkan perubahan kimiawi dan mineralogi untuk selanjutnya mengeras menjadi batuan karbonat. Sedimen karbonat umumnya lebih rentan terhadap pelarutan (dissolution), rekristalisasi dan replacement dibandingkan mineral-mineral silikat. Sebagai contoh, lumpur aragonit dengan mudah teralterasi (terubah) seluruh menjadi kalsit selama proses awal diagenesa dan pembenan. Pada tahap berikutnya, kalsit mungkin digantikan seluruhnya atau sebagian oleh dolomit pada proses dolomitisasi.



 Gambar 4. Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan Dunham (1962) yang dimodifikasi oleh Embry dan Klovan (1972).

Regim Diagenesa Karbonat 
Secara umum tahapan diagenesa pada sedimen karbonat seperti pada sedimen klastik, yaitu eodiagenesis pada pembebanan dangkal, mesodiagenesis pada pembebanan dalam, dan telodiagenesis jika terjadi pengangkat dan uproofing. Jadi, diagenesis menempati tiga atau realm utama atau regim (Gambar 5), yaitu laut (marine), meteorik (meteoric), dan regim bawah permukaan (subsurface).

Regim Laut
Meliputi dasar laut dan bawah permukaan laut sangat dangkal. Lingkungan diagenetik ini dicirikan oleh temperatur dan salinitas air laut yang normal. Proses diagenetik dasar pada lingkungan seperti ini meliputi bioturbasi sedimen, modifikasi kerang karbonat dan butiran lainnya oleh pemboran organisme, dan sementasi butiran dalam daerah air panas, terutama pada terumbu, beting pasir tepi platform, dan endapan karbonat pantai.

Regim Meteorik 
Regim ini terjadi dengan dua cara, yaitu: (1)  oleh turunnya muka laut relatif, dan (2) oleh cepatnya pengisian seimen pada cekungan karbonat dangkal. Batuan karbonat yang lebih tua dapat juga masuk dalam regim ini oleh tahapan akhir pengangkatan atau uproofing kompleks karbonat dengan pembebanan yang lebih dalam (teladiagenesis). Regim meteorik dicirikan oleh hadirnya air tawar ;  yang meliputi zona tidak jenuh (pori-pori sedimen tidak  terisi dengan air) diatas water table, dan zona jenuh air dibawah water table. Air meteorik umumnya sangat tinggi dimuati dengan CO2, sehingga secara kimiawi sangat agresif.  Karenanya aragonit dan kalsit magnesium tinggi lebih muda larut daripada kalsit, mereka larut dengan mudah dalam air korosVIe. Sebaliknya, pelarutan (dissolution) aragonit dan kalsit magnesium tinggi dapat menjenuhi air dalam kalsium karbonat berkenan dengan kalsit, yang menyebabkan aragonit  kalsitdiendapkan. Proses dissolution - reprecipitation menyebabkan aragonit dan kalsit kalsium tinggi kurang stabil sehingga digantikan oleh  kalsit yang lebih stabil.

Regim Bawah Permukaan 
Setelah periode awal diatas, sedimen karbonat secara berangsur terbebani kedalam dan dalam regim ini terjadi peningkatan tekanan, temperatur tinggi, dan perubahan fluida dalam pori-pori. Dibawah kondisi ini, sedimen karbonat mengalami kompaksi fisik, kompaksi kimiawi, dan perubahan tambahan kimiawi/mineralogi yang meliputi dissolution, sementasi, neomorphism, dan replcement. Sipat-sipat aksak perubahan yang dialami selama diagenesa bawah permukaan dalam tergantung pada kondisi khusus lingkungan pembebanannya, seperti temperatur, komposisi fluida pori, dan pH.






Gambar 5. Proses diagenesis pada batugamping yang sangat berhubungan dengan lingkungannya  menurut Moore (1989)

Jumat, 30 Mei 2014

BATUAN SEDIMEN KLASTIK

1. Batuan Sedimen Klastik

1.1 Definisi Batuan Sedimen Klastik

Batuan nedimen klastik merupakan batuan sedimen yang tersusun oleh klastika-klastika yang terjadi karena proses pengendapan secara mekanis dan banyak dijumpai allogenic minerals. Allogenic minerals adalah mineral yang tidak terbentuk pada lingkungan sedimentasi atau pada saat sedimentasi terjadi. Mineral ini berasal dari batuan asal yang telah mengalami transportasi dan kemudian terendapkan pada lingkungan sedimentasi.

1.2 Klasifikasi Batuan Sedimen Klastik

a. Klasifikasi After Dott, 1964

Klasifikasi batuan sedimen klastik yang umum digunakan adalah berdasarkan ukuran butirnya (menurut ukuran butir dari Wentworth), namun akan lebih baik lagi bila ditambahkan mengenai hal-hal lain yang dapat memperjelas keterangan mengenai batuan sedimen yang dimaksud seperti komposisi dan struktur. Misalnya batupasir silang siur, batu lempung kerikilan, batupasir kuarsa.

Ada klasifikasi lain yang juga dapat digunakan yaitu end members classification, klasifikasi ini dibuat berdasarkan komposisi atau ukuran butir dari penyusun batuan sedimen yang sudah ditentukan lebih dahulu. Contoh klasifikasi ini yaitu untuk batu pasir biasanya juga digunakan klasifikasi batupasir after Dott (1964), yaitu sebagai berikut:

Gambar 1. Klasifikasi after Dott (1964)

2. Mineral Penyusun Batuan Sedimen

Komponen penyusun yang dominan pada sedimen silisiklastik adalah mineral-mineral yang stabil secara mekanik maupun kimia, dan juga grain / butiran pecahan dari batuan asal yang sering disebut fragmen batuan (rock fragment). Mineral-mineral yang paling stabil antara lain kwarsa, zircon, turmalin, mikroklin, ortoklas. Sedangkan mineral-mineral yang tidak stabil antara lain plagioklas, hornblende, biotit, piroksen, dan olivin. Detrital grain atau partikel klastika penyusun batuan ini secara umum dapat dibagi menjadi 6 kategori, yaitu : 

a. Fragmen batuan (lithik)

Komponen ini merupakan pecahan dari batuan sumber yang belum terpisah menjadi mineral-mineral tunggal. Lithik ini biasanya dominan pada breksi maupun konglomerat, dan kadang-kadang masih hadir pada batupasir. Komposisi dari lithik ini tergantung pada komposisi batuan sumber, dan bahkan bisa jadi petunjuk mengenai keberadaan batuan sumbernya (provenans). Pada batupasir, fragmen batuan yang sering muncul biasanya fragmen batuan sedimen berbutir halus seperti pecahan mudstone, shale, sabak, rijang, dan lanau. Seringkali juga terdapat pecahan batuan volkanik. 

b. Kwarsa

Mineral penyusun batupasir yang paling umum adalah kwarsa, karena merupakan mineral yang paling stabil. Butiran kwarsa, umumnya berasal dari batuan granitik, gneis, dan sekis (asam). Tipe butiran kwarsa dibedakan menjadi monokristalin dan polikristalin. Monokristalin tersusun atas kristal tunggal sedangkan polikristalin tersusun atas dua / lebih kristal kwarsa. Butiran kwarsa juga dapat digunakan untuk memprediksikan provenans (batuan sumber). Sebagai contoh, kwarsa yang berasal dari batuan vulkanik umumnya monokristalin tanpa inklusi. Kwarsa yang berasal dari urat / vein hidrotermal umumnya memiliki inklusi fluida dan berwarna putih susu. Kwarsa yang berasal dari sumber batuan metamorf umumnya polikristalin dengan bentuk elongate dan kenampakan undulasi / bergelombang. 

c. Feldspar

Kandungan feldspar dalam batupasir umumnya berkisar 10-15 % tapi dalam batupasir arkose dapat mencapai 50 %. Resistensi feldspar lebih rendah dari kwarsa karena feldspar lebih lunak dan mempunyai belahan yang kuat, sehingga lebih mudah mengalami disintegrasi selama transportasi. Batuan asal dari feldspar umumnya batuan beku granitik dan gneis. Pada daerah iklim basah, feldspar akan mudah mengalami pelapukan, sebaliknya pada iklim kering, feldspar akan cenderung bertahan (survive). 

d. Mika dan lempung (clay)

Partikel jenis ini juga umum terdapat dalam matriks batupasir dan klatika lainnya. Biotit, muskovit, dan klorit, biasanya hadir sebagai pecahan berukuran cukup besar (sekitar 0,2 hingga 0,5 mm). Muskovit dan biotit biasanya berasal dari batuan beku, seringkali juga berasal dari batuan metamorf, terutama sekis dan filit. 

e. Mineral berat

Mineral berat merupakan mineral aksesoris yang konsentrasinya biasanya kurang dari 1 % dari fraksi terrigeneous sedimen. Meskipun kecil jumlahnya, mineral berat sangat berperan dalam studi provenans. Bentuk fisik mineral berat mencerminkan terhadap intensitas abrasinya. Mineral berat umumnya dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu : 
Mineral opak
Terdiri atas magnetit, ilmenit. pirit, hematit, limonit, dan leucoxen. 
Mineral mika
Kelompok ultra-stabil
Terdiri atas zircon, turmalin, rutil, mempunyai sifat fisik sangat keras dan inert serta bisa bertahan oleh beberapa kali reworking. 
Kelompok meta-stabil 
Terdiri atas olivin, apatit, hornblende, piroksen, oxyhornblende, glaukopan, tremolit, piroksen, garnet, pegmatit, epidot, klinozoisit, zoisit, kyanit, silimanit, andalusit, staurolit. 

f. Penyusun yang lainnya

3. Macam-macam Struktur Sedimen

3.1 Struktur Sedimen Primer

Struktur ini merupakan struktur sedimen yang terbentuk karena proses sedimentasi dapat merefleksikan mekanisasi pengendapannya. Contohnya seperti perlapisan, gelembur gelombang, perlapisan silang siur, konvolut, perlapisan bersusun, dan lain-lain. (Suhartono, 1996 :47). Struktur primer adalah struktur yang terbentuk ketika proses pengendapan dan ketika batuan beku mengalir atau mendingin dan tidak ada singkapan yang terlihat. Struktur primer ini penting sebagai penentu kedudukan atau orientasi asal suatu batuan yang tersingkap, terutama dalam batuan sedimen.

Struktur yang terbentuk sewaktu proses pengendapan sedang berlangsung termasuk lapisan mendatar (flat bedding), lapisan silang, laminasi, dan laminasi silang yang mikro (micro-crosslamination), yaitu adanya kesan riak. (Mohamed, 2007).

a. Convolute
Convolute memiliki ketebalan yang relative antara 2sampai 25 cm, atau coarse silt atau fine sand. Biasa terbentuk karena arus turbidit yang turbulen.

Gambar 2. Convolute dan arus turbidit

b. Perlapisan
Struktur ini dikatakan perlapisan dikarenakan mempunyai jarak lapisan >1 cm struktur ini terbentuk karena pengaruh endapan lapisan atau arus gelombang yang tenang dan pengendapan lama.

Gambar 3 Perlapisan

c. Cross Bedding/ Cross Lamination
Perlapisan ini sering disebut dngan perlapisan silang-siur yaitu perlapisan yang membentuk sudut terhadap bidang lapisan atas dan bawahnya, dibatasi oleh bidang erosi yang terbentuk akibat intensitas arus yang berubah-ubah.

Cross lamination
Secara umum dipakai untuk lapisan miring dengan ketebalan kurang dari 5 cm dengan faraset ketebalannya lebih dari 5 cm, merupakan struktur sedimentasi tunggal yang terdiri dari urutan-urutan sistematik, perlapisan dalam disebut faraset bedding yang miring terhadap permukaan umum sedimentasi. Terbentuk karena perpindahan ripple/gelombang-gelombang pori yang masing-masing urut berukuran kurang dari 5 cm.

Gambar 4. Cross Lamination

Cross bedding
Secara umum bentuk fisik dari cross bedding sama seperti cross lamination. Perbedaannya adalah ketebalannya yang kurang dari 5 cm. Cross bedding diakibatkan karena migrasi ripple yang cukup besar ataui gelombang-gelombang yang membawa pori di mana masing-masing lapisan berukuran lebih dari 5 cm. 

d. Laminasi
Struktur ini hampir sama dengan perlapisan namun yang membedakannya adalah jarak perlapisan yang kurang dari 1 cm. Biasanya struktur ini diakibatkan oleh proses diagenesis sedimen yang cepat dengan media pengendapan yang tenang.
  
Gambar 5. Laminasi

e. Ripple Mark
Struktur ini lebih diakibatkan gelombang yang mempengaruhi endapan tersebut sehingga bentukan sedimen ini berbentuk seperti gelombang air dan relatif pengendapan yang dilakukan akan bergantung pada energi gelombang tersebut

Gambar 6. Ripple Mark

f. Mud Crack
Mud cracks adalah struktur sedimen yang berupa retakan-retakan pada tubuh sedimen bagian permukan, biasanya pada tubuh campuran yang berkembang sifat kohesinya. Hal ini akibat perubahan suhu (pengeringan) dan pengerutan.

Gambar 7. Mud Crack

g. Rain Mark
Struktur sedimen ini diakibatkan oleh air hujan yang membuat permukaan sedimen yang belum benar-benar sempurna akhirnya tidak rata dan membentuk lubang akibat air hujan.

Gambar 8. Rain Mark

h. Hummocky
Merupakan struktur cross laminasi yang lebih kompak daripada cross laminasi biasa.

Gambar 9. Hummocky

i. Graded Bedding
Lapisan yang dicirikan oleh perubahan yang granular dari ukuran butir penyusunnya bila bagian bawah kasar dan ke atas semakin halus disebut normal grading atau fining upward. Bila sebaliknya disebut inverse grading atau coarsening upward. Graded bedding normal terbentuk karena pengendapan yang terjadi secara bertahap sesuai dengan penenangan energi transportasi. Graded bedding inverse dihasilkan karena pengendapan pada fase regresi.

Gambar 10. Graded Bedding

2.3.2 Struktur Sedimen Sekunder
Struktur yang terbentuk sesudah proses sedimentasi, sebelum atau pada waktu diagenesa. Juga merefleksikan keadaan lingkungan pengendapan misalnya: Load cast, stylolite, flame structure dan ball and phillow.

a. Load cast 
Merupakan struktur sedimen yang terbentuk akibat tubuh sedimen yang mengalami pembebanan ileh material sedimen di atasnya.

Gambar 11. Load cast

b. Stylolite 
Merupakan struktu akibat proses kimia yang dihasilkan dari tekanan larutan yang sering terjadi pada batupasir namun kelimpahannya berkurang searah dengan adanya lempung.

Gambar 12. Stylolite

c. Ball and pillow (pseudonodule structure)
Merupakan suatu struktur sedimen bentukan akibat gaya beban dari atas pada shale oleh batupasir yang mana shale tersebut belum mengeras. Bila bentukan tersebut masih menyambung disebut pillow, bila sudah lepas disebut ball structure.

Gambar 13. Ball and pillow

d. Flame structure
Struktur sedimen yang berupa bentukan dari lumpur licin dan memisahkan ke bwah membesar dan membentuk load cast dari pasir pada kontak antara lempung dan pasir. Kenampakan struktur ini menyala pada cross section dari shale yang memasuki batupasir akibat tekanan lateral.

Gambar 14. Flame structure

e. Dish
Merupakan struktur sedimen yang berbentuk bantal dan mangkok yang terbentuk oleh sedimen pasir yang belum terkonsolidasi lalu tertimbun sedimen lain di atasnya sehingga mengalami penekanan di bawah.

Gambar 15. Dish

2.4 Tingkat Kedewasaan

Roundness dari suatu butir pada endapan sedimen menunjukkan suatu fungsi dari komposisi butiran, ukuran butir, tipe proses transportasi, dan jarak transportasinya. Resistant grains seperti kwarsa dan zicron akan membulat kurang baik secara cepat selama transportasi jika dibandingkan dengan feldspar atau piroksen yang mampu bertahan membulat secara lama selama transportasi. Butiran berukuran kerikil hingga kerakal umumnya akan mudah membulat dibandingkan dengan butiran berukuran pasir.
Gambaran mengenai harga roundness dan sphericity telah dibuat oleh Power (1953) sebagai berikut :

Gambar 16. Kategori Roundness dan sphericity

SEDIMENTASI KARBONAT PADA UMUR HOLOSEN, PULAU SERIBU, LAUT JAWA

1. Pendahuluan
Paper yang ditulis oleh penulis ini membahas tentang fisiografi dan keadaan bawah permukaan dari perkembangan sistem terumbu karang di Pulau Seribu. Sistem Pulau Seribu terletak di sebelah tenggara Laut Jawa, yang terdiri dari sebuah pulau terumbu karang yang panjangnya dari sekitar beberapa puluh meter hingga lebih dari satu kilometer. Para geologist dengan minatnya terhadap perkembangan reservoir karbonat di Indonesia mempunyai catatan pasti tentang endapan karbonat pada umur Holosen. Alasan mengenai studi ini sangat sederhana.

Kebanyakan setengah dari produksi kumulatif dan proporsi yang cukup dari sisa cadangan migas di lepas pantai Sumatera Selatan dan lepas pantai barat daya Pulau Jawa, berasal dari karbonat Miosen dari Formasi Parigi dan Baturaja. Lebih banyak yang kita ketahui mengenai bagaimana, mengapa, dan dimana mereka terbentuk. Kuncinya adalah proses dari formasi, diagenesis dan pengawetan, serta proses yang paling baik untuk menentukannya adalah dengan pengamatan lingkungan modern dan sejarah saat ini.

2. Proses Pembentukan Terumbu Karang di Pulau Seribu
Laut Jawa saat ini merupakan hasil dari transgresi atau kenaikan muka airlaut pada awal Holosen yang terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu. Pertumbuhan terumbu karang di Pulau Seribu pada waktu itu sangat cepat yaitu sekitar 5-10 mm tiap tahunnya. Keberadaan terumbu Holosen adalah sekitar 7000 tahun yang lalu di sekitar Selat Sunda. Hal ini menguatkan bahwa fragmen koral (karang) pada kedalaman 19 meter pada hasil core di Pulau Putri Barat berusia sekitar 7900 tahun yang lalu, yang tertutup oleh waktu dari permulaan yang nyata dari bangunan terumbu atau karbonat di kepulauan Seribu. Sedimentasi Holosen masih berupa endapan lapisan tipis.

Gambar 1. Kurva Kenaikan Muka Airlaut pada 10.000 Tahun yang Lalu pada Laut China Selatan

3. Akumulasi Sedimen
Endapan sedimen kebanyakan terendapkan pada bagian back reef flat hingga laguna yang didominasi oleh pecahan koral. Kebanyakan sampel data core yang ditemukan pada penelitian ini didominasi oleh koral (karang) dan mud deficient. Pada lubang bor yang dalam yaitu 32,8 m, bagian dasarnya berupa batulempung karbonatan yang mengandung kerikil, dan umurnya adalah Pleistosen. Penentuan umur tersebut berdasarkan pada umur pecahan koral yang terdapat pada kedalaman yang bervariasi yang mengindikasikan bahwa terdapat akumulasi secara vertical pada periode 10.000 hingga 4500 tahun yang lalu.

Gambar 2. Tempat Terendapkannya Akumulasi Sedimen di Pulau Seribu pada Tipe Zona Terumbu Menurut James, 1984

Dari hasil pengeboran, dapat diasumsikan bahwa endapan sedimen karbonat di Pulau Seribu terbentuk pada fasies terumbu reef flat, back reef, hingga ke zona lagoon. Tidak jauh di bawah permukaan diperoleh sampel intra-platform channel (saluran paparan luar) dan area paparan dalam ditemukan banyak material klastik yang berukuran halus adalah merupakan bukti, yang didominasi oleh komponen skeletal berupa koral. Pada hasil core di bagian atas Pulau Pabelokan dan Pulau Putri Barat terdiri dari pecahan coral kasar dan skeletal sand (pasir skeletal). Pada Pulau Putri Barat, karena proses recovery yang jelek, hanya pada kedalaman 5-12 meter saja yang dapat dijadikan pertimbangan bukti yang terpercaya. Pada core ini mengandung variasi sortasi sedang hingga pasir skeletal kasar, yang komposisinya terdiri dari terutama koral, pecahan cangkang foraminifera dan moluska, dan sedikit alga merah dan alga hijau. Intinya pada endapan sedimen di pulau Seribu ini didominasi oleh endapan koral (lebih dari 50%) dengan sedikit material alga merah dan hijau serta tidak adanya sampel khususnya yang baik.

4. Proses Diagenesis
Lingkungan freatik airtawar atau lingkungan yang masih terkena pengaruh airtawar di pulau tersebut saat ini masih kecil. Keseluruhan proses sementasi sangat terbatas namun seperti spary kalsit, dia mengisi calice koral dan meniscus yang jenuh Magnesium (Mg) kalsit di dekat permukaan beachrock. Semen karbonat dari laut termasuk aragonite yang fibrous atau berserat dan kalsit yang tinggi Mg (dolomite) yang mempunyai ikatan kimia pendek berupa belahketupat, dan peloidal kriptikristalin memenuhi keduanya. Keterbatasan mengenai dissolusi dari aragonite mengungkapkan semua fakta-fakta yang ada.

Gambar 3. Sementasi Spari Kalsit Freatik pada Borehole di Pulau Seribu

5 Kesimpulan pada Reservoir
Dari data core menunjukkan bahwa porositas dan permeabilitas dari batuan di Pulau Seribu relatif bagus, hal ini di lihat dari perbandingan presentase banyaknya pori-pori pada batuan dengan luas sayatan batuan yang dilihat dari mikroskop. Berikut adalah beberapa kenempakan hasil sayatan batuan sedimen karbonat yang ditemukan di Pulau Seribu.
  
Gambar 4. Sayatan Tipis Batuan pada Pulau Putri Barat

Gambar 5. Deskripsi Litologi Hasil Pengeboran Borehole-1 pada Pulau Pabelokan

Gambar 6. Sayatan Tipis Batuan pada Pulau Pabelokan (Borehole-1)

Batuan yang porositas dan permeabilitasnya bagus adalah pada batuan sedimen karbonat yang belum terubahkan, khususnya pada kelompok endapan coral-rudstone yang bertindak sebagai saluran aliran airlaut dan pengisi terumbu yang didominasi oleh koral. Tidak adanya suplai airtawar pada saat ini (periode Holosen) membatasi proses diagenesis, tapi seiring berjalannya waktu dan peningkatan suplai airtawar, kemungkinan akan menghasilkan perkembangan yang lebih baik, dimana porositas dan permeabilitas batuan bisa semakin bagus sehingga batuan sedimen karbonat di Pulau Seribu bisa menjadi tempat migrasi fluida termasuk minyak dan gas.

DAFTAR PUSTAKA

Park, Robert K., dkk. 1992. Holocene Carbonate Sedimentation, Pulau Seribu, Java Sea-The Third Dimension. IPA-Carbonate Rock and Reservoir of Indonesia : A Core Workshop

STRUKTUR GEOLOGI SESAR

1. Pengertian Sesar
Patahan atau sesar (fault) adalah satu bentuk rekahan pada lapisan batuan bumi yg menyebabkan satu blok batuan bergerak relatif terhadap blok yang lain. Pergerakan bisa relatif turun, relatif naik, ataupun bergerak relatif mendatar terhadap blok yg lain. Pergerakan yg tiba-tiba dari suatu patahan atau sesar bisa mengakibatkan gempa bumi. Sesar (fault) merupakan bidang rekahan atau zona rekahan pada batuan yang sudah mengalami pergeseran (Williams, 2004). Sesar terjadi sepanjang retakan pada kerak bumi yang terdapat slip diantara dua sisi yang terdapat sesar tersebut (Williams, 2004). Beberapa istilah yang dipakai dalam analisis sesar antara lain
a. Jurus sesar (strike of fault) adalah arah garis perpotongan bidang sesar dengan bidang horisontal dan biasanya diukur dari arah utara.
b. Kemiringan sesar (dip of fault) adalah sudut yang dibentuk antara bidang sesar dengan bidang horisontal, diukur tegak lurus strike.
c.  Net slip adalah pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit pada bidang sesar akibat adanya sesar.
d. Rake adalah sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip (pergeseran horisontal searah jurus) pada bidang sesar.

Gambar 1. Bagian-bagian Sesar

Keterangan gambar tersebut adalah
α  = dip 
β  = rake of net slip
θ  = hade = 90o – dip
ab = net slip
ac = strike slip
cb = ad = dip slip
ae = vertical slip = throw
de = horizontal slip = heave

  Dalam penjelasan sesar, digunakan istilah hanging wall dan foot wall sebagai penunjuk bagian blok badan sesar. Hanging wall merupakan bagian tubuh batuan yang relatif berada di atas bidang sesar. Foot wall merupakan bagian batuan yang relatif berada di bawah bidang sesar.

Gambar 2. Hanging wall dan foot wall.

2. Ciri-ciri Sesar
Secara garis besar, sesar dibagi menjadi dua, yaitu sesar tampak dan sesar buta (blind fault). Sesar yang tampak adalah sesar yang mencapai permukaan bumi sedangkan sesar buta adalah sesar yang terjadi di bawah permukaan bumi dan tertutupi oleh lapisan seperti lapisan deposisi sedimen. Pengenalan sesar di lapangan biasanya cukup sulit. Beberapa kenampakan yang dapat digunakan sebagai penunjuk adanya sesar antara lain :
a. Adanya struktur yang tidak menerus (lapisan terpotong dengan tiba-tiba)
b. Adanya perulangan lapisan atau hilangnya lapisan batuan.
c. Kenampakan khas pada bidang sesar, seperti cermin sesar, gores garis.

Gambar 3. Gores Garis (slickens slides)
d. kenampakan khas pada zona sesar, seperti seretan (drag), breksi sesar, horses, atau lices, milonit. 

Gambar 4. Zona sesar
e. silisifikasi dan mineralisasi sepanjang zona sesar.
f. perbedaan fasies sedimen.
g. petunjuk fisiografi, seperti gawir (scarp), scarplets (piedmont scarp), triangular facet, dan terpotongnya bagian depan rangkaian pegunungan struktural.

Gambar 5. Triangular facet

Gambar 6. Faulth scarp
h. Adanya boundins : lapisan batuan yang terpotong-potong akibat sesar.

Gambar 7. Boundins

3. Klasifikasi Sesar
Klasifikasi sesar dapat dibedakan berdasarkan geometri dan genesanya
a. Klasifikasi geometris
1) Berdasarkan rake dari net slip.
strike slip fault (rake=0º)
diagonal slip fault (0 º < rake <90º)
dip slip fault (rake=90º)
2) Berdasarkan kedudukan relatif bidang sesar terhadap bidang perlapisan atau struktur regional
strike fault (jurus sesar sejajar jurus lapisan)
bedding fault (sesar sejajar lapisan)
dip fault (jurus sesar tegak lurus jurus lapisan)
oblique / diagonal fault (menyudut terhadap jurus lapisan)
longitudinal fault (sejajar struktur regional)
transversal fault (menyudut struktur regional)
3) Berdasarkan besar sudut bidang sesar
high angle fault (lebih dari 45o)
low angle fault (kurang dari 45o)
4) Berdasarkan pergerakan semu
normal fault (sesar turun)
reverse fault (sesar naik)
5) Berdasarkan pola sesar
paralel fault (sesar saling sejajar)
en chelon fault (sesar saling overlap dan sejajar)
peripheral fault (sesar melingkar dan konsentris)
radial fault (sesar menyebar dari satu pusat)

Gambar 8. Klasifikasi sesar

b. Klasifikasi genetis
Berdasarkan orientasi pola tegasan yang utama (Anderson, 1951) sesar dapat dibedakan menjadi :
Sesar anjak (thrust fault) bila tegasan maksimum dan menengah mendatar.
Sesar normal bila tegasan utama vertikal.
Strike slip fault atau wrench fault (high dip, transverse to regional structure)

4. Beberapa Jenis Sesar dan Penjelasannya
a. Sesar Normal / Sesar Turun (Extention Faulth)
Sesar normal dikenali juga sebagai sesar gravitasi, dengan gaya gravitasi sebagai gaya utama yang menggerakannya. Ia juga dikenali sebagai sesar ekstensi (Extention Faulth) sebab ia memanjangkan perlapisan, atau menipis kerak bumi. Sesar normal yang mempunyai salah yang menjadi datar di bagian dalam bumi dikenali sebagai sesar listrik. Sesar listrik ini juga dikaitkan dengan sesar tumbuh (growth fault), dengan pengendapan dan pergerakan sesar berlaku serentak. Satah sesar normal menjadi datar ke dalam bumi, sama seperti yang berlaku ke atas sesar sungkup. Pada permukaan bumi, sesar normal juga jarang sekali berlaku secara bersendirian, tetapi bercabang.
Cabang sesar yang turun searah dengan sesar utama dikenali sebagai sesar sintetik, sementara sesar yang berlawanan arah dikenali sebagai sesar antitetik. Kedua cabang sesar ini bertemu dengan sesar utama di bagian dalam bumi. Sesar normal sering dikaitkan dengan perlipatan. Misalnya, sesar di bagian dalam bumi akan bertukar menjadi lipatan monoklin di permukaan.
Hanging wall relatif turun terhadap foot wall, bidang sesarnya mempunyai kemiringan yang besar. Sesar ini biasanya disebut juga sesar turun.

Gambar 9. Extention Faulth

Patahan atau sesar turun adalah satu bentuk rekahan pada lapisan bumi yang menyebabkan satu blok batuan bergerak relatif turun terhadap blok lainnya. Fault scarp adalah bidang miring imaginer tadi atau dalam kenyataannya adalah permukaan dari bidang sesar.

b. Sesar naik (reverse fault / contraction faulth)
Sesar naik (reverse fault) untuk sesar naik ini bagian hanging wall-nya relatif bergerak naik terhadap bagian foot wall. Salah satu ciri sesar naik adalah sudut kemiringan dari sesar itu termasuk kecil, berbeda dengn sesar turun yang punya sudut kemiringan bisa mendekati vertical. Nampak lapisan batuan yg berwarna lebih merah pada hanging wall berada pada posisi yg lebih atas dari lapisan batuan yg sama pada foot wall. Ini menandakan lapisan yg ada di hanging wall udah bergerak relatif naik terhadap foot wall-nya.

Gambar 10. Reverse fault / contraction faulth

c. Sesar mendatar (Strike slip fault / Transcurent fault / Wrench fault)
Sesar mendatar (Strike slip fault / Transcurent fault / Wrench fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan utama pembentuk sesar ini adalah horizontal, sama dengan posisi tegasan minimumnya, sedangkan posisi tegasan menengah adalah vertikal. Umumnya bidang sesar mendatar digambarkan sebagai bidang vertikal, sehingga istilah hanging wall dan foot wall tidak lazim digunakan di dalam sistem sesar ini. Berdasarkan gerak relatifnya, sesar ini dibedakan menjadi sinistral (mengiri) dan dekstral (menganan).

Gambar 11. Strike slip fault / Transcurent fault / Wrench fault

5. Aplikasi Sesar dalam Bidang Geologi
Petroleum system
Geothermal
Geoteknik
Penanggulangan daerah rawan bencana

SIFAT OPTIK RFM (ROCK FORMING MINERAL)

Sifat–sifat optik dari mineral dapat diamati dengan menggunakan mikroskop dengan metode tanpa nikol (nikol sejajar) maupun dengan nikol (nikol bersilang)
a. Pengamatan Tanpa Nikol (Nikol Sejajar)
b. Pengamatan nikol bersilang

Sifat Optik Rock Forming Minerals

1. KUARSA
• Colorless, relief rendah
• Bentuk tak beraturan, dalam batuan umumnya anhedral
• Tidak punya belahan
• Gelapan bergelombang
• Warna interferensi abu2 orde1
• TO sumbu I (+)

Gambar 1. Kuarsa

2. ORTOKLAS
• Colorles tapi agak keruh, relief rendah
• Pada sayatan 001 terlihat kembaran carlsbad
• WI abu2 terang orde I
• TO sumbu 2 (-)

3. PLAGIOKLAS
• Colorles tapi agak keruh, relief rendah-sedang
• kembaran albit atau carlsbad-albit
• WI abu2 terang orde I
• TO sumbu 2 (-) dan (+)

4. OLIVIN
• Abu2 agak kehijauan-transparan
• Relief tinggi
• Bentuk poligonal/prismatik
• Pecahan tak beraturan, tanpa belahan
• WI orde II
• Pada bidang pecahan/rekahan sering teralterasi menjadi serpentin

5. KLINO PIROKSEN (AUGIT, DIOPSID)
• Warna bening, abu-abu kecoklatan, prismatik, sayatan//c belahan 1arah, sayatan tegak lurus c belahan 2 arah 90o
• Gelapan miring, augit 45-54o diopsid 37-44o
• TO (+) sb2

Gambar 5. Augit

6. HORNBLENDE
• Warna kehijauan/kecoklatan,
• relief tinggi,
• pleokroisme kuat (dikroik/trikroik),
• belahan 1 arah atau 2 arah 1200,
• bentuk prismatik (biasanya memanjang),
• gelapan miring 12-300

Gambar 6. Hornblende

7. BIOTIT
• Warna coklat, kemerahan, kehitaman
• Bentuk berlembar
• Pleokroisme kuat
• Gelapan sejajar

Gambar 7. Biotit

8. MUSCOVIT
• warna colorless
• Bentuk berlembar
• Pleokroisme kuat
• Gelapan sejajar

Gambar 8. Muskovit

9. KALSIT
• Colorless
• Belahan sempurna tiga arah
• Biasganda sangat tinggi
• TO I (-)

Gambar 9. Kalsit

10. TREMOLIT – AKTINOLIT 
• Warna colorless-agak kehijauan, bentuk prismatik memanjang/kolumnar, pleokroisme lemah, gelapan miring 10-20o
• Untuk bentuk dan sifat optik yang sama, warna kebiruan dengan sudut gelapan 4-6o =glaukofan

11. ORTOPIROKSEN (ENSTANTIN, HIPERSTEN)
• Sifat optik sama dengan klinopiroksen
• Yang membedakan adalah gelapannya sejajar (klino=miring)
• TO sumbu 2 (-) àhipersten (+)  enstatit

Gambar 11. Hipersten

Tekstur Khusus Batuan Beku
Tekstur merupakan sebagai keadaan atau hubungan yang erat antar mineral-mineral sebagai bagian dari batuan dan antara mineral-mineral dengan massa gelas yang membentuk massa dasar dari batuan.

Tekstur pada batuan beku umumnya ditentukan oleh tiga hal yang penting, yaitu:

a. Kristalinitas
Kristalinitas adalah derajat kristalisasi dari suatu batuan beku pada waktu terbentuknya batuan tersebut. Kristalinitas dalam fungsinya digunakan untuk menunjukkan berapa banyak yang berbentuk kristal dan yang tidak berbentuk kristal, selain itu juga dapat mencerminkan kecepatan pembekuan magma. Apabila magma dalam pembekuannya berlangsung lambat maka kristalnya kasar. Sedangkan jika pembekuannya berlangsung cepat maka kristalnya akan halus, akan tetapi jika pendinginannya berlangsung dengan cepat sekali maka kristalnya berbentuk amorf.

Dalam pembentukannnya dikenal tiga kelas derajat kristalisasi, yaitu:
- Holokristalin, yaitu batuan beku dimana semuanya tersusun oleh kristal. Tekstur holokristalin adalah karakteristik batuan plutonik, yaitu mikrokristalin yang telah membeku di dekat permukaan.
- Hipokristalin, yaitu apabila sebagian batuan terdiri dari massa gelas dan sebagian lagi terdiri dari massa kristal.
- Holohialin, yaitu batuan beku yang semuanya tersusun dari massa gelas. Tekstur holohialin banyak terbentuk sebagai lava (obsidian), dike dan sill, atau sebagai fasies yang lebih kecil dari tubuh batuan.

b. Granularitas
Granularitas didefinisikan sebagai besar butir (ukuran) pada batuan beku. Pada umumnya dikenal dua kelompok tekstur ukuran butir, yaitu:

1. Fanerik/fanerokristalin
Besar kristal-kristal dari golongan ini dapat dibedakan satu sama lain secara megaskopis dengan mata biasa. Kristal-kristal jenis fanerik ini dapat dibedakan menjadi:
- Halus (fine), apabila ukuran diameter butir kurang dari 1 mm.
- Sedang (medium), apabila ukuran diameter butir antara 1 – 5 mm.
- Kasar (coarse), apabila ukuran diameter butir antara 5 – 30 mm.
- Sangat kasar (very coarse), apabila ukuran diameter butir lebih dari 30 mm.

2. Afanitik
Besar kristal-kristal dari golongan ini tidak dapat dibedakan dengan mata biasa sehingga diperlukan bantuan mikroskop. Batuan dengan tekstur afanitik dapat tersusun oleh kristal, gelas atau keduanya. Dalam analisa mikroskopis dapat dibedakan:
- Mikrokristalin, apabil mineral-mineral pada batuan beku bisa diamati dengan bantuan mikroskop dengan ukuran butiran sekitar 0,1 – 0,01 mm.
- Kriptokristalin,  apabila mineral-mineral dalam batuan beku terlalu kecil untuk diamati meskipun dengan bantuan mikroskop. Ukuran butiran berkisar antara 0,01-0,002 mm.
- Amorf/glassy/hyaline, apabila batuan beku tersusun oleh gelas.

c. Bentuk Kristal
Bentuk kristal adalah sifat dari suatu kristal dalam batuan, jadi bukan sifat batuan secara keseluruhan. Ditinjau dari pandangan dua dimensi dikenal tiga bentuk kristal, yaitu:
- Euhedral, apabila batas dari mineral adalah bentuk asli dari bidang kristal.
- Subhedral, apabila sebagian dari batas kristalnya sudah tidak terlihat lagi.
- Anhedral, apabila mineral sudah tidak mempunyai bidang kristal asli.

Ditinjau dari pandangan tiga dimensi, dikenal empat bentuk kristal, yaitu:
- Equidimensional, apabila bentuk kristal ketiga dimensinya sama panjang.
- Tabular, apabila bentuk kristal dua dimensi lebih panjang dari satu dimensi yang lain.
- Prismitik, apabila bentuk kristal satu dimensi lebih panjang dari dua dimen yang lain.
- Irregular, apabila bentuk kristal tidak teratur.

Hubungan Antar Kristal
Hubungan antar kristal atau disebut juga relasi didefinisikan sebagai hubungan antara kristal/mineral yang satu dengan yang lain dalam suatu batuan. Secara garis besar, relasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Equigranular.
Berdasarkan keidealan kristal-kristalnya, maka equigranular dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Panidiomorfik granular, yaitu apabila sebagian besar mineral-mineralnya terdiri dari mineral-mineral yang euhedral.
- Hipidiomorfik granular, yaitu apabila sebagian besar mineral-mineralnya terdiri dari mineral-mineral yang subhedral.
- Allotriomorfik granular, yaitu apabila sebagian besar mineral-mineralnya terdiri dari mineral-mineral yang anhedral.

2. Inequigranular
yaitu apabila ukuran butir kristalnya sebagai pembentuk batuan tidak sama besar. Mineral yang besar disebut fenokris dan yang lain disebut massa dasar atau matrik yang bisa berupa mineral atau gelas.

Struktur Khusus Batuan Beku
Batuan beku memiliki struktur khusus , yakni :
- Ophitic dan subophitic : teksur ini  khas pada kelompok gabro/ basalt, terutama diabas. Ophitic : Jika mineral plagioklas dilingkupi oleh mineral piroksen. Subophitic : Jika mineral piroksen dilingkupi oleh mineral plagioklas.
- Tekstur graphic : merupakan tekstur yang pada umumnya sering  dijumpai pada batuan beku yang kaya silika, terutama granit, pegmatit .
- Trachytic (pilotaxitic): tekstur ini merupakan tekstur yang umum pada batuan vulkanik.
- Intergranular /intersertal : merupakan tekstur yang banyak dijumpai pada batuan lava dan hipabisal, khususnya basalt dan diabas.
- Amygdaloidal texture : tekstur ini cuukup sering dijumpai pada lava atau batuan intrusi dangkal. Amygdaloidal texture merupakan terkstur yang berupa lubang-lubang gas (vesicles), yang terisi mineral sekunder, seperti opal, chalsedon, chlorite, kalsit.
- Granophyric / micrographic texture. Tekstur ini merupakan tekstur intergrowth antara mineral kuarsa dengan feldspar, tetapi dengan ukuran yang lebih halus. Terdapat pada batuan applite.

Contoh Gambar Sayatan Batuan Beku

Andesit

Diorit

TEKTONIK PULAU SUMATERA

Tatanan Tektonik Pulau Sumatera

Tatanan tektonik sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa, didominasi oleh pergerakan ke utara dari tepian aktif lempeng samudera Hindia dan lempeng benua Australia terhadap lempengan Sunda dengan kecepatan sekitar 6-7 cm/tahun. Komponen gerakan lempengan yang relatif tegak lurus terhadap arah batas lempeng sebagian besar membentuk sesar-sesar naik di sepanjang zona subduksi Sumatera dan Java, sedangkan komponen lempeng yang parallel terhadap batas lempeng didominasi oleh terbentuknya sesar-sesar geser pada zona sesar.

Kajian tepian tektonik aktif difokuskan untuk mengidentifikasi bentuk geomorfologi dasar laut dari masing-masing segmen lempeng. Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, seperti zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik di dunia.

Batas-batas bentuk geomorfologi dasar laut ini sangat jelas terlihat pada rekaman seismic dan citra seabeam. Makin kearah selatan, dasar laut makin banyak mengalami pensesaran normal. Sesar-sesar ini nampaknya lebih intensif makin jauh dari palung laut. Pada sumbu palung, bentuk kerak samudera telah banyak mengalami pensesaran dan membentuk pola-pola horst dan graben secara luas.

Tatanan geologi kelautan Indonesia merupakan bagian yang sangat unik dalam tatanan kelautan dunia, karena berada pada pertemuan paling tidak tiga lempeng tektonik: Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia-Lempeng Samudera India serta Lempeng Benua Asia. Berdasarkan karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi regional, wilayah laut Indonesia dibagi menjadi zona dalam (inboard) dan luar (outboard) yang menempati regim zona tambahan (contiguous), Zona Ekonomi Eksklusif dan Landan Kontinen. Bagian barat zona dalam ditempati oleh Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang merupakan sub-sistem dari lempeng benua Eurasia, dicirikan oleh kedalaman dasar laut maksimum 200 m yang terletak pada bagian dalam gugusan pulau-pulau utama yaitu Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (menurut Toponim internasional seharusnya disebut pulau Borneo).

Bagian tengah zona dalam merupakan zona transisi dari sistem paparan bagian barat dan sistim laut dalam di bagian timur. Kedalaman laut pada zona transisi ini mencapai lebih dari 3.000 meter yaitu laut Bali, Laut Flores dan Selat Makasar. Bagian paling timur zona dalam adalah zona sistem laut Banda yang merupakan cekungan tepian (marginal basin) dicirikan oleh kedalaman laut yang mencapai lebih dari 6.000 m dan adanya beberapa keratan daratan (landmass sliver) yang berasal dari tepian benua Australia (Australian continental margin) seperti pulau Timor dan Wetar (Curray et al, 1982, Katili, 2008).

Zona bagian luar ditempati oleh sistem Samudera Hindia, Laut Pasifik, Laut Timor, laut Arafura, laut Filipina Barat, laut Sulawesi dan laut Cina Selatan. Menurut Hamilton (1979), kerumitan dari tatanan fisiografi dan geologi wilayah laut Nusantara ini disebabkan oleh adanya interaksi lempeng-lempeng kerak bumi Eurasia (utara), Hindia-Australia (selatan), Pasifik-Filipina Barat (timur) dan Laut Sulawesi (utara).

Proses geodinamika global (More et al, 1980), selanjutnya berperan dalam membentuk tatanan tepian pulau-pulau Nusantara tipe konvergen aktif (Indonesia maritime continental active margin), dimana bagian luar Nusantara merupakan perwujudan dari zona penunjaman (subduksi) dan atau tumbukan (kolisi) terhadap bagian dalam Nusantara, yang akhirnya membentuk fisiografi perairan Indonesia.

Gambar 1. Fisiografi perairan Indonesia akibat proses tektonik

Model Tektonik Tepian Lempeng Aktif

Lempeng samudera bergerak menunjam lempeng benua membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan Indonesia di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral juga berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai dan gawir laut).

Di bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan dibagian timurnya atau sebalah barat terbentuk jalur punggungan lurus utara-selatan yang disebut Ninety East Ridge (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur) merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Bagian yang dalam membentuk cekungan kerak samudera yang terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India membentuk Bengal Fan hingga ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara 2.000-3.000 meter (Ginco, 1999). Daerah Pematang Tengah Samudra pada Lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5 cm/tahun (Katili, 2008).

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses penunjaman yaitu palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007).
  
Gambar 2. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif (Hamilton, 1979)

Hasil identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam dan foto dasar laut maka dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi utama yang umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif. Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, yaitu zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik di dunia karena batas-batasnya yang jelas dan mudah dikenali.

Satuan Geomorfologi Tepian Lempeng Aktif

a. Geomorfologi Zona Subduksi
Lempeng Samudera India merupakan kerak yang tipis yang ditutupi laut dengan kedalaman antara 1.000-5.000 meter. Lempeng Samudera dan lempeng benua (Continental Crust) dipisahkan oleh Subduction Zone (Zona Penunjaman) dengan kedalaman antara 6.000-7.000 meter yang membujur dari barat Sumatera, selatan Jawa hingga Laut Banda bagian barat yang disebut Java Trench (Parit Jawa). Geomorfologi zona subduksi ini merupakan gabungan yang erat antara proses-proses yang terjadi pada tepian kerak samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu sendiri.

Sebagai konsekuansi dari tepian aktif, maka banyak proses tektonik yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben, serta kemunginan aktivitas gunung api (hot spot?). Salah satu diantaranya adalah terbentuknya gunungapi (submarine volcano atau seamount?) di luar busur volkanik. Indikasi adanya gunungapi atau tinggian seperti yang ditemukan Tim ekspedisi CGG Veritas (BPPT-LIPI-PPPGL-Berlin University) pada bulan Mei 2009 yang lalu sebenarnya bukan merupakan gunungapi baru. Beberapa peta batimetri dan citra satelit telah mencantumkan adanya tinggian tersebut, hanya sampai saat ini belum diberikan nama resmi (toponimi) yang tepat (PPPGL, 2008). 

Lintasan survei deep-seismic CGGV-04 telah mendeteksi adanya puncak gunung bawah laut pada posisi koordinat 4°21.758 LU, 99°25,002 BT. Puncak gunung bawah laut ini berada pada kedalaman 1.285 m dengan dasar atau kaki gunung pada kedalaman 5.902 m. Hasil interpretasi data memperlihatkan bahwa gunung bawah laut ini memiliki ketinggian 4.617 m dan Lebar kaki gunung sekitar 50 km. Lokasi gunung bawah laut yang terdeteksi ini berada pada jarak 320 km sebelah barat dari Kota Bengkulu (Gambar 3). Namun demikian, berdasarkan konsepsi tektonik, gunungapi di Lantai Samudera tidak seberbahaya dibandingkan gunungapi yang terbentuk di tepian benua aktif.

Gambar 3. Gambaran Geomorfologi Pada Zona Subduksi Dan Kenampakan Seamount Di Kerak Samudera India, Sumbu Palung Laut Dan Prisma Akresi Di Lepas Pantai Bengkulu.

b. Geomorfologi Palung Laut
Palung laut merupakan bentuk paritan memanjang dengan kedalaman mencapai lebih dari 6.500 meter. Umumnya palung laut ini merupakan batas antara kerak samudera India dengan tepian benua Eurasia sebagai bentuk penunjaman yang menghasilkan celah memanjang tegak lurus terhadap arah penunjaman (Gambar 4).

Gambar 4. Satuan geomorfologi palung samudra di sebelah selatan Jawa (PPPGL, 2008).

Beberapa patahan yang muncul di sekitar palung laut ini dapat reaktif kembali seperti yang diperlihatkan oleh hasil plot pusat-pusat gempa di sepanjang lepas pantai pulau Sumatera dan Jawa. Sesar mendatar Mentawai yang ditemukan pada Ekspedisi Mentawai Indonesia-Prancis tahun 1990-an terindikasi sebagai sesar mendatar yang berpasangan namun di berarapa bagian memperihatkan bentuk sesar naik. Hal ini merupakan salah satu sebab makin meningkatnya tekanan kompresif dan seismisitas yang menimbulkan kegempaan.

Di bagian barat pulau Sumatera, pergerakan lempeng samudera India mengalibatkan terangkatnya sedimen (seabed) di kerak samudera dan prisma-prisma akresi yang merupakan bagian terluar dari kontinen. Sesar-sesar normal yang terbentuk di daerah bagian dalam yang memisahkan prisma akresi dengan busur kepulauan (island arc) mengakibatkan peningkatan pasokan sedimen yang lebih besar (Lubis et al, 2007). Demikian pula akibat terjadinya pengangkatan tersebut maka morfologi palung laut di kawasan ini memperlihatkan bentuk lereng yang terjal dan sempit dibandingkan dengan palung yang terbentuk di kawasan timur Indonesia.

c. Geomorfologi Prisma Akresi
Pembentukan prisma akresi di dasar laut dikontrol oleh aktifitas tektonik sesar-sesar naik (thrusting) yang mengakibatkan proses pengangkatan (uplifting). Proses ini terjadi karena konsekuensi dari proses tumbukan antar segmen kontinen yang menyebabkan bagian tepian lempeng daerah tumbukan tersebut mengalami proses pengangkatan. Proses ini umumnya terjadi di kawasan barat Indonesia yaitu di samudra Hindia.

Pulau-pulau prisma akresi merupakan prisma akresi yang terangkat sampai ke permukaan laut sebagai konsekuensi desakan lempeng Samudera Hindia ke arah utara dengan kecepatan 6-7 cm/tahun terhadap lempeng Benua Asia-Eropa sebagai benua pasif menerima tekanan (Hamilton, 1979). Oleh sebab itulah pengangkatan dan sesar-sesar naik di beberapa tempat, seperti yang terjadi di Kep. Mentawai, Enggano, Nias, sampai Simelueu yang terangkat membentuk gugusan pulau-pulau memanjang parallel terhadap arah zona subduksi (Lubis, 2009). Gambar 5. memperlihatkan prisma akresi yang naik ke permukaan laut membentuk pulau-pulau prisma akresi di lepas pantai Aceh, sedangkan contoh prisma akresi yang belum naik ke permukaan laut diperlihatkan pada Gambar 6. yaitu prisma akresi di lepas pantai selatan Jawa. Selain itu proses pembentukan lainnya yang lazim terjadi di kawasan ini adalah aktifnya patahan (sesar) dan amblasan (subsidensi) di sekitar pantai sehingga pulau-pulau akresi yang terbentuk terpisah dari daratan utamanya (Cruise Report SO00-2, 2009).

Prisma akresi merupakan wilayah yang paling rawan terhadap kegempaan karena pusat-pusat gempa berada di bawahnya. Batuan prisma akresi memiliki ke-khasan tersendiri yaitu ditemukannya batuan campur-aduk (melange, ofiolit) yang umumnya berupa batuan Skist berumur muda. Sejarah kegempaan di kawasan ini membuktikan bahwa episentrum gempa-gempa kuat umumnya terletak pada prisma akresi ini karena merupakan gempa dangkal (kedalaman < 30 Km). Gempa kuat yang pernah tercatat mencapai skala 9 Richter pada tagl 26 Desember 2004. Beberapa ahli geologi juga masih mengkhawatirkan suatu saat akan terulang gempa sebesar ini di kawasan barat Bengkulu, karena prisma akresi di kawasan ini masih belum melepaskan energi kegempaan (locked zone) sementara kawasan disekitarnya sudah terpicu dan melepaskan energi melalui serangkaian gempa-gempa sedang-kuat.

Di Sumatera ditemukan dua prisma akresi, yaitu accretionary wedge 1 di bagian luar & accretionary wedge 2 di bagian dalam outer arc high yang memisahkan prisma akresi dengan cekungan busur muka (Mentawai forearc asin). Adanya outer arc high yang memisahkan dua prisma akresi tersebut mengalibatkan sedimen yang berasal dari daratan induknya tidak dapat menerus ke bagian barat tetapi terendapkan di cekungan busur muka.
Gambar 5. Geomorfologi Prisma Akresi Yang Naik Kepermukaan Sebagai Pulau Prisma Akresi Di Lepas Pantai Sebelah Barat Aceh.


Gambar 6. Geomorfologi Prisma Akresi Di Selatan Jawa Yang Belum Muncul Ke Permukaan Laut.

d. Geomorfologi Cekungan Busur Muka
Survey kemitraan Indonesia-Jerman Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tahun 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil. Hasil interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong cekungan Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi cekungan busur muka Simelue merupakan cekungan a-symetri laut dalam dengan kedalaman laut antara 1.000-1.500m, makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal mencapai 5.000m lebih.

Di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar mendatar yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault) sehingga mengakibatkan deformasi struktur batuan sedimen pada tepian cekungan. Berdasarkan seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi cekungan ini relatif muda (Miocene) sehingga kurang memungkinkan terjadi pematangan sebagai source rock (IPA, 2002). Selain itu, tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif rendah karena laju pengendapan yg relatif cepat di laut dalam, demikian pula dengan pengaruh proses pematangan diagenesa volkanisme di bagian timur yang jaraknya terlalu jauh.

Salah satu contoh terbaik terbentuknya cekungan busur muka adalah cekungan Lombok yang telah teridentifikasi memiliki komponen toponimi yang lengkap, seperti koordinat (x,y,z), batas-batas cekungan, luas, kedalaman.

Gambar 7. Geomorfologi cekungan Lombok sebagai cekungan busur muka (PPPGL, 2008)

Zona Subduksi
Daerah pertemuan antar lempeng di lokasi zona subduksi disebut sebagai patahan gempa, atau sebuah megathrust. Palung Sunda dianggap sebagai sebuah megathrust. Pada zona subduksi Sumatra, lempeng tektonik India dan Australia bergerak perlahan ke arah timur laut sebesar 61 mm/ tahun dan menujam lempeng Burma (bagian dari lempeng Eurasia). Proses penujaman ini sangat mengakibatkan kedua lempeng saling menekan satu sama lain, dan menimbulkan tegangan. Apabila tegangan semakin membesar hingga besar tertentu, maka bagian lempeng akan mulai runtuh karena tidak kuat menahan tegangan. Keruntuhan tidak terjadi di sepanjang zona subduksi akan tetapi berada pada bidang-bidang tertentu.

Gambar 8. Megathrust Sunda. Angka dan arah panah menunjukkan gerakan relatif lempeng. Terlihat Indonesia terletak pada suatu daerah dimana pergerakan lempeng sangat kompleks.
.
Gambar 9. Zona Subduksi Sumatera 

Kedua peta di atas memperlihatkan keadaan tipikal dari sebuah zona subduksi: palung lautan, bubungan busur-depan (fore-arc ridge) cekungan busur-depan (fore-arc basin), dan busur kepulauan (island arc). Palung Sunda merupakan tanda batas antar lempeng, yakni sebuah jalur dengan air laut yang sangat dalam yang sejajar dengan pantai Sumatera. Di bagian kiri bawah, lempeng Australia menujam lempeng Sunda (yang ditandai dengan panah melengkung) dan membentuk palung yang dalam. Pada tepi lempeng Sunda, sekitar 100 km dari Palung Sunda dan 180 km dari Sumatera terdapat barisan kepulauan yang merupakan puncak dari bubungan busur-depan. Bubungan ini terbentuk terbentuk dari bagian sedimen laut lempeng Australia yang tergerus dan membentuk tumpukan pada tepi lempeng Sunda. Sedimen ini disebut baji naik.

Gambar 10 Potongan Proses Subduksi Sumatera